Rabu, 07 Oktober 2009

RAHASIA SUAMI

SEKSI. Ia sangat anggun dengan jilbab cantik menghiasi wajahnya. Dengan sapuan kosmetik tipis, Ajeng tampil mempesona seluruh pegawai laki-laki di ruangan ini termasuk diriku. Dan yang membuatku tambah kelimpungan, Ajeng sering mengajakku berdiskusi tentang apa saja soal agama, pekerjaan dan lain-lain. "Mas antar ajeng ke Mall yah buat beli peralatan kantor," ajaknya manja.
Kuayunkan langkahku menuju kantor. Tepat di ujung meja, Ajeng melempar senyum manisnya serta anggukan hormat. Aku tergagap. Kubalas anggukannya walau sedikit kaku.Sudah sebulan ini Ajeng menjadi pegawai baru di kantorku. Orangnya sangat ramah dan cantik. "Eh... sejak kapan aku kok memperhatikan kecantikan orang lain selain istriku," pikirku jengah. Ajeng memang berbeda dengan teman-teman wanitaku di kantor yang berpakaian gelagapan. "Wah bahaya ini, panah-panah setan mulai menusuk hati," batinku bingung. "Afwan jeng, tidak bisa, aku ada pengajian," tolakku halus. "Sebentar saja deh mas, aku butuh teman nih," rajuk Ajeng lagi. Akhirnya aku kalah dengan rayuan manis yang disodorkan Ajeng.
Sesampainya di rumah, kulihat anak-anak tidur. Kuusap wajahku galau. Terus terang baru pertama kali inilah jiwaku kacau. Godaan Ajeng begitu kuat menghantam relung hatiku. Dan kini aku mulai membanding-bandingkan Ajeng dengan Dewi, istriku yang setia selama 7 tahun menemaniku dalam suka dan duka. Ajeng selalu wangi sedangkan Dewi selalu bau masakan dan air susu. Ajeng tampil modis sedangkan Dewi berdaster ria. "Ah... kenapa aku kok tiba-tiba usil dengan penampilan Dewi, padahal sebelum ada Ajeng aku suka dengan bau badan Dewi."
"Terlambat lagi mas, banyak lembur yah?" tanya Dewi polos. Aku mengangguk ragu. Aku telah berbohong. Kutatap Dewi lekat-lekat. Wajahnya teduh, aku tertunduk. "Kenapa aku ini, bukankah Dewi lebih baik dari Ajeng. Dahulu sebelum punya anak Dewi pun wangi dan selalu tampil rapi. Dewi selalu menyejukan hati setiap kali aku ada masalah. Dewi pun tidak pernah rewel walau gajiku kecil sehingga Dewi harus mengurus dua anak kami tanpa pembantu. Dewi selalu siap disisiku kemanapu aku minta. Dan yang utama, Dewi istri salihah yang taat pada Allah dan Rasul."
"Dewi... ah, aku telah tak adil padanya. Aku laki-laki yang egois, hanya memikirkan nafsuku saja. Seharusnya jika ada bunga mawar yang menebar pesona, aku tak lantas menjadi kumbang yang langsung menyergap. Belum tentu penampilan bunga mawar itu lebih menarik dari bunga melati yang sederhana namun abadi". Aku me-muhasabah diriku sambil menyeruput teh manis buatan Dewi.
"Belum lagi aku membuat Dewi bahagia secara materi, sekarang aku malah mengkhianati cintanya. Satu-satunya kebahagiaan yang dimiliki Dewi dariku."Kuusap kembali wajahku, basahnya air wudhu menyejukan batinku. Kutatap wajah Dewi. "Kenapa sih mas ngeliatnya kaya begitu", tanya Dewi heran. "Enggak apa-apa de' mas merasa bahagia mempunyai istri seperti ade'. Sekarang tolong dekap mas, de,' Mas ingin sekali mendengar kamu baca Qur'an seperti dulu kita di awal pernikahan", pintaku tulus. Kulihat ada guratan kebingungan di wajah Dewi, tapi seperti biasa Dewi adalah istri yang salihah yang tanpa banyak tanya diturutinya permintaanku. Aku pun tenggelam dalam alunan ayat-ayat suci Al Qur'an yang dibacakan Dewi dengan merdunya.
Hatiku lega, mulai besok suamimu akan kembali, Dewi. Suami yang akan menjaga dirinya dari panah-panah setan. Panah seorang Ajeng, dan mungkin akan ada Ajeng-Ajeng lainnya.

SEMUA ADALAH PILIHAN

“Tak ada yang saya salahkan...,” suaranya mengambang, seakan datang dari negeri yang jauh. “Kecuali diri saya sendiri!”
Aku terdiam, tenang mendengarkan. Sementara mata kami melanglang buana, melahap semua keindahan ciptaan Ilahi yang terpampang hingga batas cakrawala. Punggung bukit yang berhias kerlap-kerlip lampu berwarna jingga, kemerahan, kebiruan, orange dan kuning itu membawa sensasi luar biasa bagi pupil mata.
“Kondisi yang harus saya jalani saat ini, adalah konsekuensi dari pilihan hidup saya sendiri,” suaranya terdengar lagi. Aku masih khusyuk memperhatikan, sambil menikmati udara senja pegunungan yang menyelusup ke seluruh pori-poriku. Sejuk menyegarkan. Kawasan puncak menjelang malam, indah nian.
“Ketika saya baru lulus kuliah dulu, sebenarnya saya sudah ditawari untuk menikah. Namun waktu itu tegas-tegas saya menolak dengan alasan saya mau bekerja dulu, mencoba mempersembahkan sedikit bakti bagi orang tua ~yah, meskipun saya tahu itu semua tak akan pernah dapat membalas jasa mereka~. Juga karena saya merasa masih ada dalam diri saya yang harus dibenahi. Harus saya akui, saya adalah tipe seorang dengan jiwa yang selalu gelisah. Rasanya saat itu, saya belum siap untuk berumahtangga,
karena masih begitu banyak yang ingin saya lakukan, bagi diri sendiri dan bagi orang lain,” sahabat saya tersenyum kecil, matanya tak lepas dari kejauhan.
“Dua tahun kemudian, kembali datang tawaran menikah. Kebetulan saat itu saya memang sudah mulai berpikir untuk menikah. Dari banyak tawaran yang datang, yang paling serius adalah seorang pemuda biasa, tetangga kampung. Sementara saat itu saya adalah seorang gadis muda dengan semangat keislaman yang sangat tinggi. Saya mensyaratkan dia harus mau ngaji dulu sebelum menikah dengan saya. Dia tak sanggup. 'Aku mencari istri, bukan mencari orang yang menyuruhku ngaji,' katanya. Sedang saya tetap berkeras pada syarat yang saya minta. Maka proses pun berhenti di langkah itu dan hidup pun kembali berjalan pada pilihan masing-masing. Perasaan saya biasa saja saat itu. Waktu itu saya berpikir toh saya masih sangat muda, dua puluh empat tahun. Jadi, enjoy aja,” Wanita muda itu menarik napas ringan sebelum melanjutkan.
“Menjelang usia dua puluh lima, datang lamaran lagi dari seorang laki-laki yang cukup saya kenal. Kali ini saya suka. Dia adalah pemuda tipe ideal saya. Maka serta merta saya terima. Tapi ternyata proses ini pun gagal lagi pada akhirnya. Orang tuanya menginginkan dia menikah dengan orang yang sesuku,” suaranya bergetar. Ada jeda kesedihan yang tiba-tiba menyeruak.
”Saya sangat terluka dengan penolakan ini, hingga memilih melarikan diri pada aktifitas sosial yang sangat banyak. Mendampingi anak jalanan, mengadakan berbagai bakti sosial, dan ikut menjadi relawan dalam penanganan bencana-bencana di Jakarta. Saya nyaris tak pernah di rumah. Karena selain aktifitas-aktifitas tadi, aku juga tetap bekerja. Bahkan kemudian saya sangat menikmati aktifitas yang mulanya pelarian ini. Saya seperti menemukan apa yang pernah saya inginkan selama ini.”
Kulihat bara semangat itu pada sorot matanya, pada wajah yang ditegakkannya.“Di tengah gelora semangat itu, menjelang usiaku dua puluh enam, datang lagi sebuah lamaran. Kali ini dari seorang pemuda shalih yang baik, kalem dan pendiam, meskipun dia bukan aktifis. Seseorang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Saya yang tak mau kehilangan aktifitas yang sedang saya jalani, kembali mengajukan syarat, agar diijinkan tetap beraktifitas seperti semula. Sebenarnya dia tak menghalangi sepenuhnya. Dia hanya mengatakan, boleh saja beraktifitas, tetapi sebagai seorang istri harus mendahulukan kepentingan keluarga dan minta izin suami jika akan keluar rumah. Pernyataan itu saya tangkap sebagai 'larangan' waktu itu. Barangkali karena saya memimpikan mendapat pasangan sesama aktifis, seperti maraknya beberapa teman organisasi yang menikah dengan kalangan sendiri. Hhhh..., ” kali ini si Mbak menarik napas panjang. “Saya menolaknya!” Suaranya kembali tergetar.
“Inilah proses yang paling saya sesali, hingga saat ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya merasa sangat kekanak-kanakan. Sebenarnya apa sih yang saya inginkan? Dulu ketika baru lulus, saya beralasan hendak bekerja dulu dan beraktifitas. Itu sudah saya jalani semua. Ketika ada laki-laki biasa melamar, saya bilang saya ingin mendapatkan seorang ikhwan, dan kini Allah pun menghadirkannya. Sekarang? Saya menginginkan menikah dengan sesama aktifis yang benar-benar bisa memahami aktifitas publik saya. Sepertinya saya tidak bersyukur dan terus menerus mencari yang seperti saya inginkan saat itu.” Dalam temaram lampu taman, aku dapat melihat kaca di bola matanya. Kugenggam tangannya, memberi kekuatan.
“Kesadaran bahwa pilihan dan sikap saya adalah kekeliruan, muncul tak lama kemudian. Hanya dua bulan setelah dia melamar. Kepada comblang yang mempertemukan kami, saya mengatakan ingin mencoba memperbaiki keputusan yang telah lalu. Namun semua sudah terlambat. Laki-laki itu tak lama lagi akan menikah.” Kaca itu pecah, menjadi butiran-butiran kristal yang mengaliri pipinya.
“Rasa bersalah itu pun kian mendera perasaan. Saya mencoba menebus rasa bersalah itu dengan bersilaturahmi kepada sebanyak mungkin orang. Kepada kaum kerabat yang jarang saya kunjungi, kepada teman-teman lama yang mulai terlupakan karena aktifitas-aktifitas baru saya. Juga kepada guru-guru masa kecil. Saya tak tahu mengapa itu cara yang saya lakukan untuk menebus rasa bersalah, yang pasti saya hanya berharap, silaturahmi-silaturahmi itu dapat menjadi kafarat.” Si Mbak tersenyum lagi. Ada kelegaan tergambar di wajahnya.
“Peristiwa itu membuat saya menjadi lebih dewasa. Saya mulai bersungguh-sungguh mencari pasangan hidup. Saya menghargai setiap tawaran yang datang. Bahkan saya juga minta tolong pada teman-teman untuk mencarikan.” Wajahnya meredup lagi. “Saya tak pernah menolak lagi siapapun yang diajukan kepada saya, baik oleh guru ngaji, lewat teman-teman. Ataupun calon dari orang tua. Namun yang terjadi kemudian adalah bagai karma! Kali ini giliran saya yang terus menerus ditolak. Telah belasan orang dalam
tiga tahun terakhir sejak saya menolak lamaran pemuda shalih itu. Bahkan termasuk teman-teman dekat saya sendiri, mereka menolak dengan halus tawaran saya untuk menikah dengan mereka.” Suaranya begitu lirih, tercekat menahan tangis.
“Akhirnya saya merasakan juga sakitnya ditolak. Berkali-kali!” Perempuan itu kini tergugu. Lama. Dia menelungkupkan wajahnya di bangku taman. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengelus kepalanya yang terbungkus jilbab biru. Waktu terus berlalu dalam keheningan. Hanya isak tangis tertahannya yang terdengar, ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Aku tak menghitung berapa lama dia menuntaskan gundahnya sampai kemudian dia bangkit, menuju serumpun shion yang tengah mekar.
“Mungkin orang akan mengatakan, itulah akibat dari menolak-nolak orang. Jadi perawan tua. Itu adalah konsekuensi yang tak hendak saya ingkari. Saya harus menerima predikat itu. Karena memang demikianlah adanya. Dan kini saya mendapatkan sudut pandang yang lain: bisa jadi sikap-sikap saya dulu, dan pilihan-pilihan itu memang sebuah kesalahan.” Dia menghela napas. Tegar.
“Tapi ada satu hal yang saya syukuri. Semua peristiwa itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sungguh-sungguh berharga. Kini saya tahu seperti apa perihnya ditolak. Kini saya sangat paham, manusia hanya dapat berencana, sedang Allah lah yang Maha Penentu. Kini saya mengerti, sangat mengerti bahwa Allah tahu yang terbaik untuk kita. Apa yang diberikanNya adalah selalu yang kita butuhkan, meski mungkin bukan yang kita inginkan. Kini saya juga jadi lebih dapat menghargai setiap orang. Bahwa siapapun dia, setiap orang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Penghargaan kita yang tulus padanya akan berbalas perhatian pula.” Wanita itu tersenyum. Kedamaian mengaura pada dirinya.
“Saya tak menyesali apa yang telah terjadi di masa lalu. Saya mungkin kehilangan kesempatan-kesempatan itu, namun saya tidak kehilangan hikmah dan pelajarannya. Barangkali memang harus demikian pergolakan jiwa dan perjalanan batin saya. Barangkali memang harus dengan cara itu saya dapat menjadi lebih matang. Kalau waktu itu saya menikah dengan jiwa yang seperti itu, mungkin juga tidak baik hasilnya. Saya mungkin menikah dengan kondisi terpaksa, dan saya tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tangga seperti itu. Mungkin saya tak akan pernah mendapat hikmah-hikmah ini. Saya bahagia sekarang karena saya dapat merasakan ketulusan itu. Kini saya sangat siap untuk menerima pasangan hidup, siapapun dia.”
“Bukan! Sama sekali bukan berarti saya banting harga karena saya sudah 30 tahun hingga segala idealita yang dulu digugurkan”,dia buru-buru menambahkan. Seakan-akan takut kalimatnya akan langsung dipersepsikan lain. Saya mengerti karena kebanyakan seperti itu anggapan masyarakat terhadap para wanita lajang yang sudah beranjak lewat dari usia dua puluhan. Mereka seakan berlomba mengobral dirinya agar dapat menikah segera.
“Tetapi karena pengalaman telah mengajarkan saya banyak hal. Tetapi karena saya tidak lagi emosional sekarang. Bukan karena kehilangan idealita. Dan itu membuat saya bisa menerima siapa saja sekarang, karena saya kini mengerti arti sebuah ketulusan. Hingga saya dapat menghargai setiap orang, lebih dan kurangnya. Juga, saya pun tahu dan berlapang dada, jika Allah masih menimpakan akibat dari sikap-sikap saya di masa lalu. Semoga kesadaran ini akan menjadi kafarat dosa-dosa saya.”
Wanita itu kini menatapku lembut. Wajahnya bercahaya tertimpa sinar lampu taman. Dia tersenyum, dengan senyuman bagai rembulan. Aku membalas senyumnya. Sementara angin malam makin menggigit tulang. Bulan sepasi yang menggantung di langit menandakan bahwa tengah malam telah jauh berlalu. Pemandangan puncak di waktu malam makin indah, namun kini tiba saatnya kami harus beristirahat. Hidup harus terus berjalan, dan kami tak boleh terlampau sering menoleh ke belakang, kecuali sekedar mengambil pelajaran. Bukan untuk bersedih atas semua yang telah lalu.
Bergandengan tangan, kami bangkit dan melangkah ke dalam vila yang kami tinggali. Sekali lagi lolong anjing terdengar di kejauhan. Namun itu tak berarti apa-apa.Yang kami punya sekarang tekat, untuk terus memperbaiki diri dan jiwa. Orang muslim yang paling baik bukanlah mereka yang tak pernah berbuat kesalahan. Namun mereka yang tiap kali berbuat kesalahan dia sadar dan berusaha bertaubat kemudian memperbaikinya.

BENARKAH WANITA ITU SEJELEK-JELEKNYA??

Dalam Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Wanita itu jelek segala-galanya; apa yang ada padanya adalah jelek, tak dapat Tidak! "
Ada dua haikan yang harus kita terapkan dengan jelas dan terang Pertama bahwa yang menggambarkan pandangan Islam terhadap suatu hal ialah firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah saw., sedangkan perkataan seseorang selain Rasul boleh diambil dan boleh ditotal. Al Quranul Karim dan Sunah Nabawiyah yang shahih itu sajalah yang merupakan dua sumber ajaran Islam yang ma'shum (terpelihara dari kesalahan). Tetapi kadang-kadang terjadi kesalahpahaman terhadap keduanya atau salah satunya.
Kedua menurut para peneliti dan ulama bahwa menisbatkan sebagian dari apa yang termaktub dalam Nahjul Balaghah kepada Ali r.a. tidaklah tepat. Dalam hal ini mereka mempunyai dalil-dalil dan bukti-bukti. Tidak diragukan lagi bahwa dalam Nahjul Balaghah terdapat beberap akhutbah dan perkataan yang oleh seorang peneliti dan pembaca yang jeli dinilai tidak menggambarkan zaman Imam Ali, baik mengenai ide maupun uslubnya. Karena itu, tidak boleh berhujjah dengan segala apa yang dimuat dalam Nahjul Balaghah dengan menganggapnya sebagai perkataan Ali r.a.
Menurut ketetapan dalam ilmu-ilmu Islam bahwa menisbatkan perkataan kepada orang yang mengatakannya itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan isnad yang shahih dan bersambung. Karena itu perlu kita pertanyaan apakah pernyatan tersebut mempunyai isnad shahih yang bersambung ke Imam Ali r.a.
Bahkan seandainya perkataan ini diriwayatkan dari Ali r.a. dengan sanad yang shahih dan bersambung melalui perawi-perawi yang adil dan terpecaya, niscaya perkataan itu wajib ditolak karena bertentangan dengan prinsip dan nash-nash Islamiyah. Ini merupakan informasi cacat sehingga perkataan tersebut wajib ditolak, walaupun isnadnya jelas.
Bagaimana mungkin Ali r.a. mengucapkan perkataan seperti itu padahal beliau membaca kitab Allah yang menetapkan persamaan wanita dan pria pada asal penciptaan, taklif (penugasan), dan pemberian balasan. Allah SWT berfirman:"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...."(An Nisa 1)
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. "(Al Ahzab 35)
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ..."(Ali Imran 195)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. "(Ar Rum 21)
Rasulullah saw. bersabda:"Sesungguhnya wanita itu adalah belahan (partner) laki-laki"(HR Ahmad dan Abu Daud dari Aisyah r.a.);"Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan ialah wanita yang shalihah" (HR Muslim, Nasa'i , dan Ibnu majah).
"Ada tiga hal yang termasuk unsur kebahagian anak Adam, yaitu:wanita shalihah, tempat tinggal (rumah) yang baik, dan kendaraan yang baik."(HR Ahmad dengan isnad yang shahih);"Barangsiapa yang diberi wanita shalihah oleh Allah berarti ia telah ditolong olehNya atas sebahagian agamanya; karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah mengenai sebagian yang tersisa."(HR Thabrani dan Hakim. Beliau berkata, "Sahih isnadnya")
Jadi bagaimana mungkin Ali r.a. berbeda padangan dengan ayat dan hadits ini sehingga mengatakan, "Sesungguhnya wanita itu jelek segalanya?"
Sesungguhnya fitrah wanita itu tidak berbeda dengan fitrah laki-laki: keduanya menerima kebaikan dan kejelekan, petunjuk dan kesesatan, sebagaimana firman Allah SWT:"Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya..Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. "(Asy Syams 7-10)
Bagaimana mungkin Ali menggambarkan wanita itu jelek segala-galanya, tak dapat tidak? Bagaimana mungkin Allah menciptakan sesuatu yang jelek secara mutlak, kemudian menggiring manusia kepadanya karena membutuhkan dan memerlukannya?
Orang yang mau merenungkan alam semesta ini niscaya tahu bahwa kebaikan di alam ini merupakan asal (pokok) dan asas, sedangkan kejelekan yang tampak pada kita adalah juz'i dan nisbi (parsial dan relatif). Kejelekan itu tenggelam dalam kebaikan yang bersifat menyeluruh, umum, dan mutlah. Dalam kenyataannya, kejelekan merupakan kelaziman dari kebaikan (yakni sudah merupakan kelaziman bahwa di samping kebaikan yang umum itu ada kejelekan). Karena itu munajat yang dipanjatkan Nabi saw kepada Tuhannya diantaranya berbunyi: "Wasyarru laysa ilayka" yang artinya "Dan jekelekan itu tidak dinisbatkan kepadaMu".dalam AlQuran disebutkan:"... Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu"(Ali Imran:26)

BERJUANG KERAS UNTUK SATU ISTRI

Saya teringat sebuah dialog dengan "Sang Direktur" di salah satu instansi, dia memiliki posisi yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami bersilaturahim ke rumah beliau dan isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat penuh kekeluargaan.
"Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?" ujar sang isteri.
"Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!" balasku.
"Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?" tanyanya gemas.
"Memangnya kenapa bu, haram?" tanyaku penasaran.
"Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran 'doyan isteri banyak'! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!" Sambil tertawa renyah dan Sang Direktur mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.
Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di instansi Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat yang melakukan hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si fulan itu punya simpanan di sana-sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila, dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri sang direktur itu sangat antusias menceritakan kasus "mereka", dan ibarat nara sumber lah sang isteri tersebut, sambil diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi lain hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, "tidak ada manfaatnya dan hatiku gerah," gumamku.
"Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?" Tanya Sang Direktur kepada istrinya.
"Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk enggak kayak gitu kan", sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu pun sambutan suaminya dengan senyuman.
Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami sedang asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon.
"Pak Fulan, apa kabar ...?" Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.
Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, "mas, tolong dikirimkan 'yang biasa' ke hotel ini, ruang saya di ...., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih!
Saya enggak kuat nahannya. Ya sekitar jam 11 malam deh, aku tunggu ya ...? Pintanya".
"Siap Pak, beres semuanya." ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.
Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku bertanya, "itu pak Fulan si Sang Direktur?" tanyaku.
"Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot nyariin 'yang Biasa' nya," ujar rekanku.
Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan Sang Direktur. Tak di sangka bahwa "Sang Direktur" termasuk salah satu pelaku dari pergaulan ilegal. Aku segera tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.
Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri, dia selalu berujar kepada ku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke luar negeri bilamana bersama dengannya, "Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih. Gue pusing kalau di luar kota gini, mau bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya," begitu seterusnya. Dan itu selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita pada keesokan paginya.
Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah tolong jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu..., karena kuakui celotehan tersebut bilamana tidak kita waspadai akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang keras untuk itu.Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja, tetapi banyak cerita pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh, gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa kejadian seperti di atas belum menjadi mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap ...
Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa isterinya, yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau rekanku tersebut?Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui karakter ciptaan-Nya, prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat untuk pemenuhan psikologis terhadap wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi yang sangat kuat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin indah, itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya untuk melampiaskan kebutuhan tersebut.
Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini masih menjadi kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan kebanyakan dari kaum hawa. Dan pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil, dampak sosial yang berat, atau hal lainnya.
Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih poligami, dia harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi tantangan dampak sosialnya, harus berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua butuh kerja keras dan berjuang pula. Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi penghalang perjuangan amal soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.
Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini pun butuh perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis maupun biologisnya untuk isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan kesetiaan, menutup celah godaan, dan menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk membahagiakan seorang isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa diutarakan di sini.
Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan saya yakin makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah. Hargailah suamimu, sayangi dan dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri di hatinya.
(Untuk seorang wanita yang mendampingiku hingga saat ini, adalah sebuah karunia-NYA yang indah dan telah diamanatkan kepadaku, seorang kekasih yang belum pernah sekali pun memperlihatkan wajah masam, atau amarah padaku sejak kita mengikat janji untuk mengarungi perjuangan kehidupan yang singkat ini. Terimakasih ya dukungannya, and All the praises and thanks be to Allah)
CARA BICARA DENGAN LAWAN JENIS SECARA ISLAMI

Tak pernah sekalipun kami yang dijodohkan itu bicara satu sama lain. Karena kami terlalu malu untuk itu, sebab saya tersandung ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa kaum laki-laki dan perempuan hendaknya menundukkan pandangan satu sama lain.
Bagaimana supaya saya tau perasaan dia sebenarnya pada saya. Sedangkan tak ada satu orangpun yang bisa dipercayai untuk mewakili menanyakannya. Selama ini hanya bermohon pada ALLAH SWT agar dikaruniakan pasangan hidup terbaik untuk didunia dan akhirat, tapi tidak spesifik pada satu orang (pada si X). Terimakasih.Wassalaamu'alaikum wr. wb
Dalam hal taaruf, usul kami :
1. Berusahalah untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Bisa lewat surat menyurat, atau lewat telepon singkat (kalau terlalu lama bahaya), atau bicara langsung dengan ditemani orang ke 3 yang terpercaya.
2. Nomer 1 tadi harus dilandasi dengan hati yang bersih, jauhkan dari bersitan syahwat rendahan yang (afwan, sampai membuat timbul perasaan siiRR). Jika perasaan syahwat rendahan tersebut muncul ditengah pembicaraan dengannya di telpon atau bicara langsung, maka segeralah mengakhiri pembicaraan. Jika timbul saat sedang membaca surat, letakkan dulu suratnya, istghfar dan ta’awudz. Setan sedang lewat menggoda. Susah menjelaskannya sebab ini bahasa bersitan hati namun Insya Allah jika merasakannya anda tahu itulah yang sedang kami maksud.
3. Supaya anda tahu perasaan dia yang sebenarnya, yang perlu anda ketahui hanya keseriusan hatinya melamar anda. Tanyakanlah:apakah ia melamar anda karena disuruh orang lain? Apakah ia melamar anda karena terpaksa, apakah ia tak punya keberatan mendasar terhadap anda? Apakah ia bersedia menjadi suami yang baik bagi anda dengan landasan Islam? Dan saran kami, tak perlu tanyakan apakah ia cinta atau tidak pada anda saat ini sebab boleh jadi jawabannya sekarang adalah TIDAK, karena memang cinta belum tentu sudah tumbuh namun tidak menghalangi proses pernikahan.Wallahua’lam bishshowwaab.